Standar Kebaikan Seseorang Di Sisi Allah
Tulisan untuk rubrik hadits ini kami angkat dari kitab Syarhu Riyadhish Shalihin min Kalami Sayyidil Mursalin (5/413-422), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (1421 H), cetakan Madaar al-Wathan, cetakan ke-1, 1427 H, Riyadh, KSA. Dan kitab al-Ifham fi Syarhi Bulughil Maram min Adillatil Ahkam (2/520), karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi, cetakan Daar al-‘Ashimah, cetakan ke-1, tahun 1425 H/ 2005 M, Riyadh, KSA. Dan beberapa kitab referensi lainnya; dengan beberapa penambahan dan peringkasan, tanpa mengurangi maksud para penulisnya. Dan dengan penambahan beberapa subjudul guna memperjelas dan mempermudah maksud dari penjelasan para penulis kitab-kitab tersebut. Hadits tersebut adalah sebagai berikut,
Dari Mu’awiyah radhiallahu’anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama” (Muttafaqun ‘alaihi).
Takhrij singkat hadits
Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh al-Bukhari (71) dan Muslim (1037, 98).
Penjelasan hadits
Al-Imam an-Nawawi (676 H) di dalam kitabnya Riyadhush Shalihin menyebutkan empat ayat yang berkenaan dengan keutamaan ilmu dan ahlinya. Ayat-ayat yang beliau bawakan adalah:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS. Thaha: 114).
Dan firman-Nya:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).
Dan juga firman-Nya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Dan firman-Nya pula:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang berilmu)…” (QS.
Fathir: 28).
Yang dimaksud dengan ilmu, yang telah diterangkan di dalam dalil-dalil tentang keutamaan, pahala, dan ketinggian derajat orang-orang yang menuntutnya serta merupakan warisan para Nabi; adalah ilmu syariat, baik yang berkenaan dengan akidah (keyakinan) maupun amal (praktek ibadah). Inilah ilmu yang penuntut dan orang yang mempelajari dan mengajarkannya terpuji di sisi Allah. Bukan ilmu yang berkaitan dengan dunia, seperti ilmu perhitungan, ilmu teknologi dan yang sejenisnya. Dan menuntut ilmu merupakan jihad fi sabilillah dan setara dengannya, sebagaimana diterangkan dalam kitabullah. Hal itu disebabkan; orang yang tidak berilmu (tidak mengetahui) tidak mungkin baginya untuk beramal ibadah sesuai dengan apa yang dimaksud dalam syariat. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah: 122).
Maksud ayat ini; mengapakah sebagian dari kaum mukminin tidak pergi berjihad ke medan perang di jalan Allah, dan sebagian yang lainnya tetap tinggal guna memperdalam ilmu agama dan memberi peringatan kepada yang lainnya sepulang mereka kembali dari medan perang?
Sehingga, dalam ayat ini Allah setarakan antara tafaqquh fid din (mempelajari agama) dan jihad fi sabilillah. Bahkan belajar agama lebih utama daripada berperang di jalan Allah. Karena tidak mungkin seorang mujahid dapat berjihad, seorang yang shalat dapat melakukan shalat dengan benar, seorang pembayar zakat membayar zakatnya dengan tepat, orang yang berpuasa dapat berpuasa dengan baik, seorang yang berhaji dan umrah melaksanakan ibadahnya; melainkan apabila ia berilmu dan memahami tata cara ibadah-ibadah tersebut dengan benar. Bahkan tidak mungkin orang yang makan, minum, tidur, dan bangun kembali melaksanakan semua aktifitas tersebut dengan baik dan benar melainkan dengan ilmu pula. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa ilmu merupakan dasar dan landasan segala sesuatu. Oleh sebab itulah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama” (Muttafaqun ‘alaihi).
Tidak ada perbedaan antara mujahid yang membawa persenjataannya dan penuntut ilmu yang berusaha membahas permasalahan ilmu dari kitab-kitab induk agama Islam, karena masing-masing dari mereka beramal dan bekerja di jalan Allah. Orang yang pertama berjihad menegakkan dan membela agama Allah, sedangkan yang kedua berusaha menjelaskan syariat Allah kepada seluruh hamba Allah. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya, Riyadhush Shalihin, meletakkan Bab Ilmu setelah Bab Jihad; sebagai penjelasan bahwa ilmu semisal dengan jihad. Bahkan, sebagian ulama lebih mengutamakan Ilmu di atas jihad fi sabilillah. Namun pendapat yang benar adalah dengan perincian dan dengan mempertimbangkan keadaan; di antara kaum Muslimin ada yang jihad lebih sesuai dan utama baginya, dan di antara mereka ada yang menuntut ilmu lebih baik baginya. Maka, jika seorang Muslim memiliki kekuatan dan keberanian yang unggul, akan tetapi di dalam ilmu ia sangat kurang atau pas-pasan saja, sedikit hafalan ilmunya, sulit memahami ketika mempelajari ilmu, maka di sini kita katakan, berjihad (berperang di jalan Allah) lebih utama baginya. Namun jika keadaan seorang Muslim sebaliknya, ia tidak memiliki kekuatan tubuh yang prima, atau tidak memiliki keberanian hati yang kokoh, akan tetapi ia memiliki kekuatan hafalan, pemahaman dan kesungguhan yang baik dalam menuntut ilmu; maka menuntut ilmu lebih utama baginya. Namun jika kedua sisinya sama, maka di antara ulama ada yang tetap lebih mengutamakan menuntut ilmu. Karena menuntut ilmu merupakan dasar dan landasan utama setiap Muslim. Juga, dengan ilmu semua orang dapat merasakan manfaatnya, orang yang jauh maupun yang dekat, orang yang hidup saat itu dan orang yang dilahirkan kemudian. Bahkan akan bermanfaat bagi penuntutnya di masa hidupnya dan setelah matinya. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا مات الإنسانُ انقطع عنه عملُه إلا من ثلاثةٍ : إلا من صدقةٍ جاريةٍ . أو علمٍ ينتفعُ به . أو ولدٍ صالحٍ يدعو له
“Jika manusia meninggal dunia terputuslah darinya seluruh amalannya, kecuali tiga hal; sedekah yang terus menerus, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim (1631) (14)).
Semua orang membutuhkan ilmu, baik mereka para Nabi ataupun bukan. Semua orang membutuhkan ilmu. Oleh karena itu Allah perintahkan Nabi-Nya untuk mengucapkan:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”” (QS. Thaha: 114).
Para Rasul membutuhkan ilmu dan pertambahannya. Sebagaimana mereka pun berdoa dengan memohon kepada Allah agar Allah menambahkannya. Maka, jika keadaan para Nabi dan Rasul saja demikian terhadap ilmu, tentunya orang-orang selain Nabi dan Rasul lebih membutuhkan lagi.
Sudah sepantasnya seorang hamba meminta kepada Allah agar ditambahkan ilmu kepadanya. Dengan demikian, wajib baginya berusaha mencari ilmu. Adapun jika sekedar berdoa saja dengan mengatakan, “Ya Allah tambahkan ilmu kepadaku”, namun tanpa ada usaha dengan melakukan sebab bertambahnya ilmu, maka ini jelas tidak dibenarkan sama sekali dan bukan sikap yang bijaksana. Orang yang demikian, sama halnya dengan orang yang berdoa, “Ya Allah, berikan rizki seorang anak kepadaku”, namun ia tidak mau menikah sama sekali. Maka, dari mana ia akan memperoleh anak? Jadi, harus dengan usaha melakukan sebabnya, karena Allah itu Maha Bijaksana. Ayat ini juga merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu. Pada ayat ini Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku harta” Bahkan Allah berfirman pula kepada Nabi-Nya:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari
mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih
baik dan lebih kekal” (QS. Thaha: 131).
Klasifikasi Ilmu Syar’i Ditinjau Dari Sisi Hukumnya
Ilmu Syar’i terbagi menjadi dua bagian; pertama bagian yang berhukum fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang. Dan bagian kedua adalah fardhu kifayah, yaitu ilmu yang jika sebagian orang telah mempelajarinya, maka orang lain yang tidak mempelajarinya tidak berdosa. Dan ada pula bagian yang ketiga, namun sebenarnya itu merupakan bagian dari yang kedua, yaitu yang berhukum sunnah, maksudnya; ilmu yang jika sebagian orang dalam jumlah tertentu telah mempelajarinya, maka orang-orang yang tidak mempelajarinya tetap disunnahkan untuk mempelajarinya.
Adapun bagian yang pertama, maka yang dimaksud adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perkara-perkara yang wajib dipelajari setiap Muslim dalam agamanya. Seperti ilmu tauhid dan mempelajari segala perkara yang dapat membatalkannya agar tidak terjerumus ke dalamnya. Juga seperti shalat, karena shalat ini wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim selama ia masih berakal sehat. Wajib baginya mempelajari tentang shalat sebagaimana wajib pula mempelajari hal-hal yang merupakan syarat keabsahan shalatnya, seperti bersuci dan segala hal yang berkenaan dengannya. Itu semua agar ia beribadah kepada Allah di atas kebenaran.
Adapun zakat, maka ini tidak wajib bagi setiap orang untuk mempelajarinya. Orang-orang yang berharta sajalah yang wajib mempelajarinya agar ia mengetahui dan memahami nishab (ukuran zakat) dan berapa yang wajib dikeluarkannya, juga kepada siapa disalurkan zakatnya tersebut.
Shaum (berpuasa), ini wajib dipelajari oleh setiap Muslim. Ia wajib mempelajari hal-hal yang membatalkan puasa, dan segala sesuatu yang mengurangi keutamannya, dan seterusnya. Haji, ini tidak wajib dipelajari oleh setiap orang. Yang wajib mempelajarinya adalah orang yang telah mampu untuk melaksanakan ibadah haji ini, agar ia berhaji dengan benar sesuai tuntunan syariat.
Jual-beli, hukum-hukum yang berkenaan dengan jual beli ini tidak wajib dipelajari oleh setiap orang. Akan tetapi ilmu ini wajib diketahui oleh orang yang berniaga, berbisnis dan berjual-beli. Wajib baginya untuk mempelajari apa saja jual-beli yang diharamkan dan apa saja yang dibolehkan secara syariat. Itu semua, demi kebenaran jual-belinya agar di atas petunjuk yang benar. Dan begitulah seterusnya.
Adakah Sesuatu Yang Lebih Mulia Dari Ilmu?
Tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu. Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya:
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS. Thaha: 114).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membutuhkan tambahan ilmu. Hal ini menunjukkan keutamaan ilmu itu sendiri. Karena Allah tidak memerintahkan beliau untuk mengatakan “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku harta”, tidak pula untuk mengatakan “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku istri-istri”, tidak pula “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku anak-anak”. Bahkan Allah katakan:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. Thaha: 131).
Dalil-Dalil Lain Yang Menunjukkan Keutamaan Ilmu Syar’i
Kemudian, di antara dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu adalah firman Allah Ta’ala berikut:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).
Tentu saja jawabannya dapat kita fahami, yaitu; tidak sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Tetapi mengapa Allah Ta’ala menyebutkannya dalam konteks pertanyaan? Agar hal tersebut mengandung tantangan. Yakni; coba datangkan seorang saja yang mengatakan bahwa sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Tentunya tidak akan didapatkan orang (normal) yang mengatakan demikian. Karena memang tidak mungkin sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Yang kelengkapan ayat ini dari awalnya adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Maksud ayat ini; apabila seseorang masuk sedangkan majlis sudah dalam keadaan penuh dengan orang-orang yang duduk, maka hendaknya mereka yang sudah duduk memperluas dan melapangkan majlis tersebut, niscaya Allah akan melapangkan kalian. Maksudnya; Allah akan membuat segala urusan kalian leluasa dan mudah. Karena balasan bergantung pada jenis amalannya. Maka barangsiapa melakukan sesuatu untuk saudaranya, niscaya Allah akan membalasnya dengan sesuatu yang telah ia lakukan tersebut. Jika Anda mempermudah orang yang kesulitan, niscaya Allah akan mudahkan urusan Anda. Jika Anda meringankan musibah seorang Mukmin, niscaya Allah akan ringankan pula musibah yang akan menimpa Anda pada hari kiamat kelak. Jika Anda menolong saudara Anda, Allah pun akan menolong Anda.
Sebagaimana pada ayat ini pun terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak mengapa bagi seseorang yang sejumlah orang berkumpul di tempatnya untuk mengatakan “Berdirilah kalian”, atau “Keluarlah kalian; semoga Allah memberkahi kalian”, atau “Urusan kalian telah selesai”. Seseorang tidak perlu malu atau merasa “tidak enak” untuk mengatakan ucapan-ucapan seperti itu. Demikian pula orang-orang yang duduk di majlis tersebut, hendaknya mereka segera keluar dan permisi jika urusan telah selesai, dan jangan menunggu untuk diperintah keluar. Kecuali jika orang yang dikunjungi tersebut betul-betul menginginkan agar para pengunjung tinggal lebih lama lagi. Maka jika demikian keadaannya, hal itu tidaklah mengapa. Namun jika tidak demikian, maka kembali kepada hukum asalnya, yaitu; tidak berlama-lama untuk duduk-duduk di tempat orang yang dikunjungi tersebut. Karena, mungkin saja orang tersebut memiliki kesibukan lain, sementara ia merasa malu dan tidak enak untuk mengatakan “Berdirilah” atau “Keluarlah”.
Bahkan Allah Ta’ala berfirman kepada para sahabat yang duduk-duduk bersama Nabi setelah mereka usai dari makan-makan agar segera keluar dan tidak memperpanjang pembicaraan. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kalian diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kalian diundang maka masuklah dan bila kalian selesai makan, keluarlah kalian tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepada kalian (untuk menyuruh kalian keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar…” (QS. Al-Ahzab: 53).
Maksudnya; jika kalian telah usai makan-makan, maka keluarlah! Dan janganlah kalian terus berduduk-duduk hingga membuat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merasa sempit dan terganggu, dan akhirnya beliau merasa malu terhadap kalian. Sedangkan Allah tidak malu untuk menjelaskan al-haq (kebenaran).
Dan hal serupa; jika ada seseorang yang meminta izin masuk ke dalam rumah Anda, kemudian Anda membukakan untuknya pintu rumah Anda, namun Anda mengatakan kepadanya, “Pulanglah, saya belum bisa duduk-duduk denganmu saat ini”, maka hal ini tidaklah mengapa. Allah l telah menjelaskan etika bertamu dan mengunjungi rumah orang lain di dalam kitab-Nya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat. Jika kalian tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepada kalian, “Kembalilah”, maka hendaklah kalian kembali (pulang). Itu bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. An-Nur: 27-28).
Akan tetapi, mungkin ada orang yang jika Anda katakan kepadanya, “Pulanglah”, dia malah marah-marah. Padahal Allah jelaskan pada ayat tadi “Itu bersih (suci) bagi kalian”. Yakni; lebih utama jika kalian pulang, Allah pun akan mensucikan kalian.
Apa Yang Dimaksud Dengan Derajat Pada Ayat Di Atas?
Firman Allah di atas:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Allah tidak menentukan derajat yang dimaksud dalam ayat ini. Namun, derajat seseorang bergantung pada keimanan dan ilmu yang ia miliki. Semakin kuat, tinggi dan banyak ilmu dan iman seseorang, serta semakin banyak manfaat yang didapatkan oleh orang lain dari ilmunya; semakin tinggi pula derajat dan kedudukannya (di sisi Allah).
Oleh karenanya, perkuatlah iman Anda, semangatlah dan berusahalah dalam menuntut ilmu semampu Anda; sejauh itu pula derajat yang akan Anda peroleh.
Apa Yang Dimaksud Dengan Khasy-yah Pada Ayat Di Atas?
Adapun firman Allah yang keempat dibawakan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya Riyadhush Shalihin adalah:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang-orang berilmu)…” (QS.
Fathir: 28).
Al-Khasy-yah artinya rasa takut (al-khauf) yang disertai dengan pengagungan (kepada Allah). Sehingga, khasy-yah ini lebih khusus dari al-khauf. Jadi, setiap khasy-yah adalah al-khauf, namun tidak setiap khauf itu khas-yah. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia yakhaafu (takut) dari seekor singa, dan tidak dikatakan yakhsya (takut yang disertai rasa pengagungan) dari singa. Adapun Allah l, maka setiap orang wajib khauf dan juga khas-yah kepada-Nya. Sebagaimana Allah berfirman:
فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“…Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja)…” (QS. Al-Baqarah: 150).
Namun permasalahannya adalah; siapakah sebenarnya ahlul khasy-yah itu? Ahlul Khasy-yah yang sejati adalah para ulama. Merekalah ulama yang memahami tentang nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, mengetahui ilmu tentang perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum Allah. Memahami dan meyakini kesempurnaan Allah yang mutlak, tidak terdapat kekurangan sedikitpun dalam segala hal. Oleh sebab inilah, mereka khasy-yah (takut yang disertai dengan pengagungan) kepada-Nya. Ayat ini pun merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu yang dapat menyebabkan orang yang menuntutnya mendapatkan rasa khasy-yah kepada-Nya. Dan seseorang, jika ia telah dikaruniai oleh Allah rasa khasy-yah, niscaya khasy-yah nya itu akan melindunginya dari bermaksiat kepada Allah. Seandainya pun berbuat dosa, ia akan segera memohon ampunan-Nya dan bertaubat kepada-Nya, karena ia benar-benar takut yang dipenuhi pula rasa pengagungan dan tunduk (khasy-yah) kepada Allah.
Penjelasan Terperinci Hadits Muawiyah Di Atas
Allah Ta’ala Maha Berkehendak terhadap hambaNya sesuai keinginan-Nya, baik berupa kebaikan atau pun berupa keburukan. Namun, harus difahami bahwa semua kehendak dan ketetapan Allah adalah baik. Adapun hasil dari kehendak dan ketetapan Allah, itu bisa baik dan bisa pula buruk. Manusia, keadaan mereka seperti bejana-bejana yang berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang Allah Maha Mengetahui kebaikan hatinya, sehingga Allah berikan taufik-Nya (kemudahan-Nya) kepadanya. Dan di antara manusia, ada pula yang Allah Maha Mengetahui akan keburukan pada hatinya, sehingga Allah pun membiarkannya dan tidak mempedulikannya –wal ‘iyadzu billah-. Allah Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“…Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik” (QS. Ash-Shaff: 5).
Allah tidak palingkan hati mereka melainkan dengan sebab mereka dahulu yang berpaling dari kebenaran, dan mereka menginginkan keburukan, maka mereka pun tidak diberi taufik oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan tersebut. Adapun orang yang Allah ketahui pada hatinya terdapat kebaikan, maka Dia akan memberikan taufik kepadanya. Jadi, jika Allah mengetahui hati seseorang padanya terdapat kebaikan, Allah berkehendak padanya kebaikan. Dan jika Allah berkehendak baik pada seseorang, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama. Allah akan berikan kepadanya ilmu tentang syariatnya yang ilmu ini tidak diberikan kepada orang lain. Ini menunjukkan bahwa manusia hendaknya benar-benar bersungguh-sungguh memahami dan menuntut ilmu-ilmu agama. Karena Allah Ta’ala jika berkehendak, Dia akan persiapkan pula segala sebabnya. Dan di antara sebab-sebab seseorang faham agama Allah, adalah dengan cara belajar dan terus berupaya mengapai derajat tingi yang dijanjikan oleh Allah kepadanya.
Maka sekali lagi, bersungguh-sungguhlah dan semangatlah dalam belajar untuk memahami ilmu-ilmu agama Allah. Dan ber-tafaqquh (memahami) agama Allah buka hanya sekedar mengetahuinya semata, akan tetapi dengan memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, para ulama salaf telah mewanti-wanti agar kita waspada terhadap keadaan suatu zaman yang banyak didapatkan para pembacanya, namun sedikit para ahli fiqih (ulama) nya. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu mengatakan:
“Bagaimana kalian jika tertimpa fitnah yang membuat orang dewasa menjadi tua renta dan membuat anak kecil menjadi dewasa, dan orang-orang menjadikan fitnah tersebut sebuah sunnah (kebiasaan). Bahkan jika dirubah, mereka akan mengatakan ‘sunnah telah dirubah’.” Kemudian ditanyakan kepada Abdullah bin Mas’ud, “Kapankah itu terjadi wahai Abu Abdirrahman?”. Beliau menjawab, “Jika didapat banyak para pembaca kalian, (namun) sedikit para ahli fiqih (ulama) kalian, banyak para pemimpin kalian, namun sedikit orang-orang yang amanah (jujur) kalian, dunia dicari dengan mengerjakan amalan akherat, dan ilmu dipelajarai bukan untuk memahami agama” (Atsar ini sanadnya shahih. Imam al-Albani mengatakan, “Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/64), al-Hakim (4/514-515); dengan sanad yang shahih”. Lihat Tahrimu Alatith Tharb (halaman 16), Qiyamu Ramadhan (halaman 4), dan Shahih at-Targhib wat Tarhib (1/26)).
Maka, jika seseorang mengetahui sesuatu dari ilmu syariat, akan tetapi ia tidak mengamalkannya, maka ia tidak dapat disebut faqih. Walaupun ia telah hafal kitab fikih terbesar sekalipun dan telah memahaminya. Ia hanya disebut qori’ (pembaca) saja. Faqih adalah seorang yang mengamalkan ilmunya. Ia mengetahui dan berilmu terlebih dahulu, kemudian ia mengamalkan ilmunya tersebut. Oleh karena itu, telah berkata kaum Nabi Syu’aib kepada beliau:
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلَا رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ
“Mereka berkata, “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami” (QS. Hud: 91).
Mereka terhalang dari kebaikan, kerena Allah Maha Tahu keburukan yang ada hati-hati mereka. Sekali lagi, semangatlah dalam menuntut ilmu, kemudian berusahalah untuk mengamalkannya; agar Anda tergolong orang-orang yang Allah kehendaki kebaikan padanya. Kami memohon kepada Allah agar kita semua dijadikannya tergolong orang-orang faqih dalam agama Allah, mengamalkannya, mengajarkannya, memberika manfaat kepada orang lain, dan menjadi sumber manfaat bagi orang lain. Amin.
Kesimpulan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Ifham fi Syarhi Bulughil Maram min Adillatil Ahkam (2/520), “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan keagungan tafaqquh fid din (menuntut ilmu agama). Dan ilmu ini tidaklah diberikan kecuali kepada orang yang Allah kehendaki kebaikan padanya… dan tafaqquh fid din; maksudnya adalah mempelajari kaidah-kaidah (dasar-dasar) Islam, dan berupaya mengetahui (hukum) halal dan haram dari alquran dan sunnah”.
Wallahu A’lamu bish Shawab.
***
Penulis: Arif Budiman, Lc.
Artikel Muslim.or.id
🔍 Qowaidul Arba Pdf, Cium Tangan Dalam Islam, Hukum Kredit Barang Menurut Islam, Pengertian Al Akhir Dalam Asmaul Husna, Ya Muqollibal Qulub Tsabbit Qolbi ‘ala Diinika
Artikel asli: https://muslim.or.id/27492-standar-kebaikan-seseorang-di-sisi-allah.html